NAMA : Yussi Agung D.C
KELAS : 2ID05
NPM : 36409510
MATA KULIAH : Soft Skill
JUDUL TUGAS : Implementsi HAM di Indonesia
Pengertian Macam Jenis Hak Asasi Manusia dan Norma-norma
HAM / Hak Asasi Manusia adalah hak yang melekat pada diri setiap manusia sejak awal dilahirkan yang berlaku seumur hidup dan tidak dapat diganggu gugat oleh siapa pun. Sebagai warga negara yang baik kita mesti menjunjung tinggi nilai hak azasi manusia tanpa membeda-bedakan status, golongan, keturunan, jabatan, dan lain sebagainya.
HAM adalah hak-hak dasar yang dimiliki oleh manusia, sesuai dengan kodratnya (Kaelan: 2002).
Menurut pendapat Jan Materson (dari komisi HAM PBB), dalam Teaching Human Rights, United Nations sebagaimana dikutip Baharuddin Lopa menegaskan bahwa HAM adalah hak-hak yang melekat pada setiap manusia, yang tanpanya manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia.
John Locke menyatakan bahwa HAM adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta sebagai hak yang kodrati. (Mansyur Effendi, 1994).
Dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM disebutkan bahwa “Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”
Melanggar HAM seseorang berarti bertentangan dengan hukum yang berlaku dalam Negara Indonesia. Di Indonesia Komnas HAM adalah wadah organisasi yang mengurus permasalahan seputar hak asasi manusia. Kasus pelanggaran ham di Indonesia memang masih banyak yang belum tuntas sehingga diharapkan perkembangan dunia HAM di Indonesia dapat terwujud ke arah yang semakin baik.
Jenis dan Macam Hak Asasi Manusia Dunia :
1. Hak asasi pribadi / Personal Right
a) Hak kebebasan untuk bergerak, bepergian dan berpindah-pindah tempat
b) Hak kebebasan mengeluarkan atau menyatakan pendapat
c) Hak kebebasan memilih dan aktif di organisasi atau perkumpulan
d) Hak kebebasan untuk memilih, memeluk, dan menjalankan agama dan kepercayaan yang diyakini masing-masing
2. Hak asasi politik / Political Right
a) Hak untuk memilih dan dipilih dalam suatu pemilihan
b) Hak ikut serta dalam kegiatan pemerintahan
c) Hak membuat dan mendirikan partai politik dan organisasi politik lainnya
d) Hak untuk membuat dan mengajukan suatu usulan petisi
3. Hak azasi hukum / Legal Equality Right
a) Hak mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan
b) Hak untuk menjadi pegawai negeri sipil / pns
c) Hak mendapat layanan dan perlindungan hukum
4. Hak azasi Ekonomi / Property Rigths
a) Hak kebebasan melakukan kegiatan jual beli
b) Hak kebebasan mengadakan perjanjian kontrak
c) Hak kebebasan menyelenggarakan sewa-menyewa, hutang-piutang, dll
d) Hak kebebasan untuk memiliki susuatu
e) Hak memiliki dan mendapatkan pekerjaan yang layak
5. Hak Asasi Peradilan / Procedural Rights
a) Hak mendapat pembelaan hukum di pengadilan
b) Hak persamaan atas perlakuan penggeledahan, penangkapan, penahanan dan penyelidikan di mata hukum.
6. Hak asasi sosial budaya / Social Culture Right
a) Hak menentukan, memilih dan mendapatkan pendidikan
b) Hak mendapatkan pengajaran
c) Hak untuk mengembangkan budaya yang sesuai dengan bakat dan minat
Hak dan Kewajiban Sebagai Warga Negara Indonesia
Pada dasarnya setiap warga negara memiliki hak dan kewajiban yang sama. Persamaaan antara manusia selalu dijunjung tinggi, maksud nya adalah untuk menghindari berbagai konflik kecemburuan sosial yang dapat memicu berbagai permasalahan.
Berikut adalah beberapa contoh hak dan kewajiban kita sebagai rakyat Indonesia :
A. Contoh Hak Warga Negara Indonesia
1. Setiap warga negara berhak mendapatkan perlindungan hokum.
2. Setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak.
3. Setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama di mata hukum dan di dalam pemerintahan.
4. Setiap warga negara bebas untuk memilih, memeluk dan menjalankan agama dan kepercayaan masing-masing yang dipercayai nya.
5. Setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran.
6. Setiap warga negara berhak mempertahankan wilayah negara kesatuan Indonesia.
7. Setiap warga negara memiliki hak sama dalam kemerdekaan berserikat, berkumpul mengeluarkan pendapat secara lisan dan tulisan sesuai undang-undang yang berlaku.
B. Contoh Kewajiban Warga Negara Indonesia
1. Setiap warga negara memiliki kewajiban untuk berperan serta dalam membela, mempertahankan kedaulatan negara indonesia dari serangan musuh.
2. Setiap warga negara wajib membayar pajak dan retribusi yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah (pemda).
3. Setiap warga negara wajib mentaati serta menjunjung tinggi dasar negara, hukum dan pemerintahan tanpa terkecuali, serta dijalankan dengan sebaik-baiknya.
4. Setiap warga negara berkewajiban taat, tunduk dan patuh terhadap segala hukum yang berlaku di wilayah negara Indonesia.
5. Setiap warga negara wajib turut serta dalam pembangunan untuk membangun bangsa.
Norma memiliki fungsi sebagai pedoman dan pengatur dasar kehidupan seseorang dalam bermasyarakat untuk mewujudkan kehidupan antara manusia yang tentram juga sejahtera.
Berikut adalah beberapa norma yang berlaku dalam kehidupan masyarakat di Indonesia :
1. Norma Sopan Santun
Norma sopan santun adalah norma yang mengatur tata pergaulan sesama manusia di dalam bermasyarakat.
Contoh :
a) Hormat terhadap orang tua dan guru.
b) Berbicara dengan bahasa yang sopan kepada semua orang.
c) Tidak suka berbohong.
d) Bersahabat dengan siapa saja.
e) Memberikan tempat duduk di bis umum pada lanjut usia dan wanita hamil.
d) Mengucapkan permisi jika melewati orang yang lebih tua, atau jika ingin bertamu.
2. Norma Agama
Norma agama adalah norma yang mengatur kehidupan manusia yang berasal dari peraturan kitab suci melalui wahyu yang diturunkan nabi berdasarkan atas agama atau kepercayaannya masing-masing. Agama adalah sesuatu hal yang pribadi yang tidak dapat dipaksakan yang tercantum dalam undang-undang dasar 1945 pasal 29.
Contoh :
a) Membayar zakat tepat pada waktunya bagi penganut agama islam.
b) Menjalankan perintah Tuhan YME.
c) Menjauhi / tidak melakukan yang dilarang oleh agama.
3. Norma Hukum
Norma hukum adalah norma yang mengatur kehidupan sosial kemasyarakatan yang berasal dari buku perundang-undangan, yang berlaku di negara kesatuan republik indonesia untuk menciptakan kondisi negara yang damai, tertib, aman, sejahtera, makmur dan sebagainya.
Contoh :
a) Tidak melanggar rambu lalu-lintas dan marka jalan.
b) Menghormati pengadilan dan peradilan di Indonesia.
c) Taat membayar pajak.
d) Menghindari korupsi, kolusi dan nepotisme.
Ciri Pokok HAM
Berdasarkan beberapa pembahasan tentang HAM di atas, dapat ditarik kesimpulan tentang beberapa ciri pokok hakekat pada HAM yaitu:
- HAM tidak perlu diberikan, dibeli, diwarisi ataupun diwariskan. Hak Asasi Manusia adalah bagian dari manusia secara otomatis.
- HAM berlaku untuk semua orang tanpa memandang jenis kelamin, ras, agama, etnis, pandangan politik atau asal-usul sosial dan bangsa.
- HAM tidak bisa dilanggar. Tidak seorangpun mempunyai hak untuk membatasi atau melanggar hak orang lain. Orang tetap mempunyai HAM walaupun dalam sebuah negara membuat hukum yang tidak melindungi atau melanggar HAM (Mansyur Fakih, 2003).
Perkembangan Suatu Pemikiran HAM (Hak Asasi Manusia)
- Pemikiran HAM periode sebelum kemerdekaan yang paling menonjol pada Indische Partij adalah hak untuk mendapatkan kemerdekaan serta mendapatkan perlakukan yang sama hak kemerdekaan.
- Sejak kemerdekaan tahun 1945 sampai sekarang di Indonesia telah berlaku 3 UUD dalam 4 periode, yaitu:
- Periode 18 Agustus 1945 sampai 27 Desember 1949, berlaku UUD 1945
- Periode 27 Desember 1949 sampai 17 Agustus 1950, berlaku konstitusi Republik Indonesia Serikat
- Periode 17 Agustus sampai 5 Juli 1959, berlaku UUD 1950
- Periode 5 Juli 1959 sampai sekarang, berlaku Kembali UUD 1945
Adalah dalam 4 generasi, yaitu :
- Generasi pertama berpendapat bahwa pemikiran HAM hanya berpusat pada bidang hukum dan politik. Fokus pemikiran HAM generasi pertama pada bidang hukum dan politik disebabkan oleh dampak dan situasi perang dunia II, totaliterisme dan adanya keinginan Negara-negara yang baru merdeka untuk menciptakan sesuatu tertib hukum yang baru.
- Generasi kedua pemikiran HAM tidak saja menuntut hak yuridis melainkan juga hak-hak sosial, ekonomi, politik juga budaya. Jadi pemikiran HAM generasi kedua menunjukan perluasan pengertian konsep dan cakupan hak asasi manusia.
( pada masa generasi ini, hak yuridis kurang mendapat penekanan sehingga terjadi ketidakseimbangan dengan hak sosial-budaya, hak ekonomi dan hak politik).
- Generasi ketiga sebagai reaksi pemikiran HAM generasi kedua. Generasi ketiga menjanjikan adanya kesatuan antara hak ekonomi, sosial, budaya, politik dan hukum dalam suatu wadah / organsasi yang disebut dengan hak-hak melaksanakan pembangunan. Dalam pelaksanaannya hasil pemikiran HAM generasi ketiga juga mengalami ketidakseimbangan dimana terjadi penekanan terhadap hak ekonomi dalam arti pembangunan ekonomi menjadi prioritas utama, sedangkan hak lainnya terabaikan sehingga menimbulkan banyak masalah, karena banyak hak-hak rakyat lainnya yang dilanggar.
- Generasi keempat yang mengkritik peranan negara yang sangat dominant dalam proses pembangunan yang terfokus pada pembangunan ekonomi dan menimbulkan dampak negative seperti diabaikannya aspek kesejahteraan rakyat. Selain itu program pembangunan yang dijalankan tidak berdasarkan kebutuhan rakyat secara keseluruhan melainkan memenuhi kebutuhan sekelompok elit penguasa. Pemikiran HAM generasi keempat dipelopori oleh Negara-negara di kawasan Asia dan pada tahun 1983 melahirkan deklarasi hak asasi manusia yang disebut dengan Declaration of the basic Duties of Asia People and Government
Perkembangan pemikiran HAM dunia bermula dari:
1) Magna Charta
Pada umumnya para pakar di Eropa berpendapat bahwa lahirnya HAM di kawasan Eropa dimulai dengan lahirnya Magna Charta yang antara lain memuat pandangan bahwa seorang raja yang tadinya memiliki kekuasaan absolute (raja yang menciptakan hukum, tetapi ia sendiri tidak terikat dengan hukum yang dibuatnya), menjadi dibatasi kekuasaannya dan mulai dapat diminta pertanggung jawabannya dimuka hokum (Mansyur Effendi,1994).
2) The American Declaration
Perkembangan HAM selanjutnya ditandai dengan munculnya Deklarasi Amerika yang lahir dari paham Rousseau dan Montesquuieu. Mulailah dipertegas bahwa manusia adalah merdeka sejak di dalam perut ibunya, sehingga tidaklah logis bila sesudah lahir ia harus dibelenggu.
3) The French Declaration
Selanjutnya, pada tahun 1789 lahirlah Deklarasi Perancis dimana ketentuan tentang hak lebih dirinci lagi sebagaimana dimuat dalam The Rule of Law yang antara lain berbunyi tidak boleh ada penangkapan tanpa alasan yang kuat atau sah dalam prosedur penangkapan. Dalam kaitan itu berlaku prinsip presumption of innocent, artinya orang-orang yang ditangkap kemudian ditahan dan dituduh, berhak dinyatakan tidak bersalah, sampai ada keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, yang menyatakan orang tesebut di nyatakan bersalah.
4) The four freedom
Ada empat hak kebebasan berbicara dan menyatakan pendapat, hak kebebasan memeluk agama dan beribadah sesuai dengan ajaran agama yang diperlukannya, hak kebebasan dari kemiskinan dalam Pengertian setiap bangsa berusaha mencapai tingkat kehidupan yang damai dan sejahtera bagi penduduknya, hak kebebasan dari ketakutan, yang meliputi usaha, pengurangan persenjataan, sehingga tidak satupun bangsa berada dalam posisi berkeinginan untuk melakukan serangan terhadap Negara lain ( Mansyur Effendi,1994).
Latar belakang lahirannya
Rule of Law :
1. Diawali oleh adanya gagasan untuk melakukan pembatasan kekuasaan pemerintahan Negara.
2. Sarana yang dipilih untuk maksud tersebut yaitu Demokrasi Konstitusional.
3. Perumusan yuridis dari Demokrasi Konstitusional adalah konsepsi negara hukum.
Rule of law adalah doktrin hukum yang muncul pada abad ke 19, seiring degan negara konstitusi dan demokrasi. Rule of law adalah konsep tentang common law yaitu seluruh aspek negara menjunjung tinggi supremasi hukum yang dibangun diatas prinsip keadilan dan egalitarian. Rule of law adalah rule by the law bukan rule by the man.
Unsur-unsur rule of law menurut A.V. Dicey terdiri dari:
a) Supremasi aturan-aturan hukum.
b) Kedudukan yang sama didalam menghadapi hukum.
c) Terjaminnya hak-hak manusia oleh undang-undang serta keputusan pengadilan.
Syarat-syarat dasar untuk terselenggaranya pemerintahan yang demokrasi menurut rule of law adalah:
1. Adanya perlindungan konstitusional.
2. Badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak.
3. Pemilihan umum yang bebas.
4. Kebebasan untuk menyatakan pendapat.
5. Kebebasan untuk berserikat/berorganisasi dan beroposisi.
6. Pendidikan kewarganegaraan.
Ada tidaknya rule of law pada suatu negara ditentukan oleh “kenyataan”, apakah rakyat menikmati keadilan, dalam arti perlakuan adil, baik sesama warga Negara maupun pemerintah.
Pengertian Rule of Law
Friedman (1959) membedakan Rule of Law menjadi dua yaitu:
a) Pertama, pengertian secara formal (in the formal sence) diartikan sebagai kekuasaan umum yang terorganisasi (organized public power), misalnya negara.
b) Kedua, secara hakiki/materiil (ideological sense), lebih menekankan pada cara penegakannya karena menyangkut ukuran hukum yang baik dan buruk (just and unjust law). Rule of law terkait erat dengan keadilan sehingga harus menjamin keadilan yang dirasakan oleh masyarakat. Rule of law merupakan suatu legalisme sehingga mengandung gagasan bahwa keadilan dapat dilayani melalui pembuatan system peraturan dan prosedur yang objektif, tidak memihak, tidak personal dan otonom.
Prinsip-prinsip dasar Rule of Law di Indonesia
Prinsip-prinsip rule of law secara formal tertera dalam pembukaan UUD 1945 yang menyatakan:
a) Bahwa kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa karena tidak sesuai dengan prikemanusiaan dan prikeadilan
b) Kemerdekaan Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur;
c) Untuk memajukan “kesejahteraan umum dan keadilan sosial
d) Disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam Undang-Undang Dasar Negara Indonesia
e) Kemanusiaan yang adil dan beradab
f) Serta dengan mewujudkan suatu keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dengan demikian inti rule of law adalah jaminan adanya keadilan bagi masyarakat terutama keadilan sosial.
Prinsip-prinsip rule of law secara termuat didalam pasal-pasal UUD 1945, yaitu
a) Negara Indonesia adalah negara hukum (pasal 1 ayat 3).
b) Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggaraakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan (pasal 24 ayat 1).
c) Segala warga Negara bersamaan kedudukanya didalam hukum dan pemerintahan, serta menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecuali (pasal 27 ayat 1).
d) Dalam Bab X A Tentang Hak Asasi Manusia, memuat 10 pasal, antara lain bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama dihadapan hukum (pasal 28 D ayat 1).
e) Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja (pasal 28 D ayat 2).
Prinsip-prinsip rule of law secara hakiki erat kaitannya dengan penyelenggaraan menyangkut ketentuan-ketentuan hukum “the enforcement of the rules of law” dalam penyelenggaraan pemerintahan, terutama dalam penegakan hukum dan implementasi prinsip-prinsip rule of law.
Berdasarkan pengalaman berbagai negara dan hasil kajian, menunjukan keberhasilan “the enforcement of the rules of law” bergantung pada kepribadian nasional setiap bangsa (Sunarjati Hartono: 1982). Hal ini didukung kenyataan bahwa rule of law merupakan institusi social yang memiliki struktur sosiologis yang khas dan mempunyai akar budayanya yang khas pula. Karena bersifat legalisme maka mengandung gagasan bahwa keadilan dapat dilayani dengan pembuatan sistem peraturan dan prosedur yang sengaja bersifat objektif, tidak memihak, tidak personal dan otonom.
Secara kuantitatif, peraturan perundang-undangan yang terkait rule of law telah banyak dihasilkan di Indonesia, tetapi implementasinya belum mencapai hasil yang optimal, sehingga rasa keadilan sebagai perwujudan pelaksanaan rule of law belum dirasakan dimasyarakat.
Strategi Pelaksanaan (Pengembangan) Rule of Law
Agar pelaksanaan Rule of Law bisa berjalan dengan yang diharapkan, maka:
1. Keberhasilan “the enforcement of the rules of law” harus didasarkan pada corak masyarakat hukum yang bersangkutan dan kepribadian masing-masing setiap bangsa.
2. Rule of law yang merupakan intitusi sosial harus didasarkan pada budaya yang tumbuh dan berkembang pada bangsa.
3. Rule of law sebagai suatu legalisme yang memuat wawasan social, gagasan tentang hubungan antar manusia, masyarakat dan negara, harus ditegakan secara adil juga memihak pada keadilan.
Untuk mewujudkannya perlu hukum progresif (Setjipto Raharjo: 2004), yang memihak hanya pada keadilan itu sendiri, bukan sebagai alat politik atau keperluan lain. Asumsi dasar hukum progresif bahwa ”hukum adalah untuk manusia”, bukan sebaliknya. Hukum progresif memuat kandungan moral yang kuat. Arah dan watak hukum yang dibangun harus dalam hubungan yang sinergis dengan kekayaan yang dimiliki bangsa yang bersangkutan atau “back to law and order”, kembali pada hukum dan ketaatan hukum negara yang bersangkutan itu.
Adapun negara yang merupakan negara hukum memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. Ada pengakuan dan perlindungan hak asasi.
2. Tidak memihak serta tidak terpengaruh oleh kekuasaan atau kekuatan apapun.
3. Legalitas terwujud dalam segala bentuk.
Contoh: Indonesia adalah salah satu Negara terkorup di dunia (Masyarakat Transparansi Internasional: 2005).
Beberapa kasus dan ilustrasi dalam penegakan Rule of Law antara lain:
- Kasus korupsi KPU dan KPUD.
- Kasus illegal logging.
- Kasus dan reboisasi hutan yang melibatkan pejabat Mahkamah Agung (MA).
- Kasus-kasus perdagangan narkoba dan psikotripika.
- Kasus perdagangan wanita dan anak.
- Kasus Gayus yang melibatkan banyak mentri juga petinggi-petinggi polri
- Kasus Melinda, (dan masih banyak lagi kasus-kasus lain yang belum terselesaikan dan jika di jabarkan bisa sampai buat skripsi ataupun karya tulis “Penulis”)
HAM Dalam Perundang-Undangan Nasional
Dalam perundang-undangan RI paling tidak terdapat bentuk hukum tertulis yang memuat aturan tentang HAM. Pertama, dalam konstitusi (UUD Negara). Kedua, dalam ketetapan MPR (TAP MPR). Ketiga, dalam Undang-undang. Keempat, dalam peraturan pelaksanaan perundang-undangan seperti peraturan pemerintah, keputusan presiden dan peraturan pelaksanaan lainnya.
Kelebihan pengaturan HAM dalam konstitusi memberikan jaminan yang sangat kuat karena perubahan dan atau penghapusan satu pasal dalam konstitusi seperti dalam ketatanegaraan di Indonesia mengalami proses yang sangat berat dan panjang, antara lain melalui amandemen dan referendum, sedangkan kelemahannya karena yang diatur dalam konstitusi hanya memuat aturan yang masih global seperti ketentuan tentang HAM dalam konstitusi RI yang masih bersifat global. Sementara itu bila pengaturan HAM dalam bentuk Undang-undang dan peraturan pelaksanaannya kelemahannya, pada kemungkinan seringnya mengalami perubahan.
Pelanggaran HAM dan pengadilan HAM
Pelanggaran HAM adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja ataupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut HAM seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-Undang ini, dan tidak didapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang berlaku (UU No. 26/2000 tentang pengadilan HAM). Sedangkan bentuk pelanggaran HAM ringan selain dari kedua bentuk pelanggaran HAM berat itu. Kejahatan genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis dan kelompok agama. Kejahatan genosida dilakukan dengan cara membunuh anggota kelompok, mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok, menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya, memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok, dan memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain (UU No. 26/2000 tentang pengadilan HAM). Sementara itu kejahatan kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut tujukan secara langsung terhadap penduduk sipil berupa pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa, perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional, penyiksaan, perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara, penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional, penghilangan orang secara paksa, dan kejahatan apartheid.
Pelanggaran terhadap HAM dapat dilakukan oleh baik aparatur negara maupun bukan aparatur negara (UU No. 26/2000 tentang pengadilan HAM). Karena itu penindakan terhadap pelanggaran HAM tidak boleh hanya ditujukan terhadap aparatur negara, tetapi juga pelanggaran yang dilakukan bukan oleh aparatur negara. Penindakan terhadap pelanggaran HAM mulai dari penyelidikan, penuntutan, dan persidangan terhadap pelanggaran yang terjadi harus bersifat non-diskriminatif dan berkeadilan. Pengadilan HAM merupakan pengadilan khusus yang berada di lingkungan pengadilan umum. Point masalah ini adalah Tanggung jawab pemajuan, penghormatan dan perlindungan HAM tidak saja dibebankan kepada negara, melainkan juga kepada individu warga negara. Artinya negara dan individu sama-sama memiliki tanggung jawab terhadap pemajuan, penghormatan dan perlindungan Hak Asasi Manusia. Karena itu, pelanggaran HAM sebenarnya tidak saja dilakukan oleh negara kepada rakyatnya, melainkan juga oleh rakyat kepada rakyat, disebut dengan (pelanggaran HAM secara horizontal)
Contoh-Contoh Kasus Pelanggaran HAM
a) Terjadinya penganiayaan pada praja STPDN oleh seniornya dengan dalih pembinaan yang menyebabkan meninggalnya Klip Muntu pada tahun 2003.
b) Dosen yang malas masuk kelas atau malas memberikan penjelasan pada suatu mata kuliah kepada mahasiswa ataupun kasus sebaliknya mahasiswa/i terlambat atau tidak masuk kelas tanpa surat pemberitahuan, ini merupakan pelanggaran HAM ringan.
c) Para pedagang yang berjualan di trotoar merupakan pelanggaran HAM terhadap para pejalan kaki, sehingga menyebabkan para pejalan kaki berjalan di pinggir jalan sehingga sangat rentan terjadi kecelakaan.
d) Petugas penjaga gerbang kampus atau sekolah (satpam/security) memaksa para mahasiswa/i atau pelajar memberikan “uang jaga” sebagai ucapan terima kasih. Ini juga termasuk pada kategori pelanggaran ringan dalam HAM.
e) Orang tua yang memaksakan kehendaknya agar anaknya masuk pada suatu jurusan tertentu dalam kuliahnya merupakan pelanggaran HAM terhadap anak, sehingga seorang anak tidak bisa memilih jurusan yang sesuai dengan minat dan bakatnya.
f) Ketidaknyamanan pengguna jalan raya terhadap jalan yang di lalui banyak terdapat lubang-lubang dan “tambal sulam” nya aspal pengguna jalan raya. Ini juga termasuk pelanggaran-pelanggaran Hak Asasi Ringan yang tentunya menjadi PR pemerintah daerah ataupun pusat.
g) Dan masih banyak lagi pelanggaran-pelanggaran HAM dari yang teringan sampai terberat dan itu menjadi tugas pemerintah juga kita yang memiliki hak dan kewajiban yang sama.
Hak Asasi Manusia dalam tujauan Agama Islam
Adanya ajaran tentang HAM dalam Islam menunjukan bahwa Islam sebagai agama telah menempatkan manusia sebagai makhluk terhormat dan mulia. Oleh karena itu, perlindungan dan penghormatan terhadap manusia merupakan tuntutan ajaran itu sendiri yang wajib dilaksanakan oleh umatnya terhadap sesama manusia tanpa terkecuali. Hak-hak yang diberikan Allah itu bersifat permanent, kekal dan abadi, tidak boleh dirubah atau dimodifikasi (Abu A’la Almaududi, 1998). Dalam Islam terdapat dua konsep tentang hak, yakni hak manusia (hak al insan) dan hak Allah. Setiap hak itu saling melandasi satu sama lain. Hak Allah melandasi manusia dan juga sebaliknya. Dalam aplikasinya, tidak ada satupun hak yang terlepas dari kedua hak tersebut, misalnya beribadah sholat contohnya.
Sementara dalam hal al insan seperti hak kepemilikan, setiap manusia berhak untuk mengelola harta yang dimilikinya.
Konsep islam mengenai kehidupan manusia didasarkan pada pendekatan teosentris (theocentries) atau yang menempatkan Allah melalui ketentuan syariatnya sebagai tolak ukur tentang baik buruk tatanan kehidupan manusia baik sebagai pribadi maupun sebagai warga masyarakat atau warga bangsa. Dengan demikian konsep Islam tentang HAM berpijak pada ajaran Tauhid. Konsep Tauhid mengandung ide persamaan dan persaudaraan manusia. Konsep tauhid juga mencakup ide persamaan dan persatuan semua makhluk yang oleh Harun Nasution dan Bahtiar Effendi disebut dengan ide perikemakhlukan. Islam datang secara inheren membawa ajaran tentang HAM, ajaran islam tentang HAM dapat dijumpai dalam sumber utama ajaran islam yaitu al-Qur’an dan al-Hadits yang merupakan sumber ajaran normatife, juga terdapat praktek kehidupan umat islam.
Dilihat dari tingkatannya, ada 3 bentuk HAM dalam Islam :
1. Hak Darury (hak dasar). Sesuatu dianggap hak dasar apabila hak tersebut dilanggar, bukan hanya membuat manusia sengsara, tetapi juga eksistensinya bahkan hilang harkat kemanusiaannya. Sebagai misal, bila hak hidup dilanggar maka berarti orang itu mati.
2. Hak sekunder (hajy) yakni hak-hak yang bila tidak dipenuhi akan berakibat hilangnya hak-hak elementer misalnya, hak seseorang untuk memperoleh sandang pangan yang layak maka akan mengakibatkan hilangnya hak hidup.
3. Hak tersier (tahsiny) yakni hak yang tingkatannya lebih rendah dari hak primer dan sekunder (Masdar F. Mas’udi, 2002)
Mengenai HAM yang berkaitan dengan hak-hak warga Negara, Al Maududi menjelaskan bahwa dalam Islam hak asasi pertama dan utama warga negara adalah:
- Melindungi nyawa, harta dan martabat mereka bersama-sama dengan jaminan bahwa hak ini tidak kami dicampuri, kecuali dengan alasan-alasan yang sah dan ilegal.
- Perlindungan atas kebebasan pribadi. Kebebasan pribadi tidak bisa dilanggar kecuali setelah melalui proses pembuktian yang meyakinkan secara hukum dan memberikan kesempatan kepada tertuduh untuk mengajukan pembelaan
- Kemerdekaan mengemukakan pendapat serta menganut keyakinan masing-masing
- untuk memenuhi kebutuhan pokok warga negara.
Tentang Ahmadiyah
Indonesia sudah sangat meresahkan antar kerukunan umat beragamanya (kutipan dari salah satu pemuka agama). Masalahnya sudah sangat jelas pemerintah dihadapkan kepada dua tembok yang sulit di tembus dalam menyelesaikan masalah Ahmadiyah ini. Tembok pertama adalah masalah keyakinan akidah dan kepercayaan yang tidak mungkin bisa dengan mudah mengubah mindset seseorang (Ahmadiyah). Sedangkan Tembok kedua adalah Muslim di Indonesia tidak bisa menerima Ahmadiyah yang sudah jelas-jelas melenceng dari Ajaran Islam. Terlepas dari kaidah HAM dan Kebebasan beragama, jelas masalah ini bukan berakar ke ranah sana. Karena selama ini pemicu utama yang kemudian menyebarkan api perlawanan terhadap Ahmadiyah ialah keyakinan tentang Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi sesudah Nabi Muhammad SAW dan tadzkiroh sebagai kitab pegangan mereka.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan mayoritas umat Islam beserta para pemimpin mereka memasukkan Ahmadiyah bukan Islam karena keyakinan mereka bahwa Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi dan tadzkiroh sebagai kitab pegangan mereka. Dan, di kalangan ummat Islam, keyakinan terhadap Nabi Muhammad SAW sebagai Nabi dan Rosul terakhir serta Al Quran sebagai kitab suci.
Inilah penyebab kenapa masalah Ahmadiyah tidak pernah tuntas di Indonesia. Karena itu, mau diapakan juga, Ahmadiyah dan ummat Islam tidak bakal bisa ketemu. Kalaupun berdiskusi “duduk bareng”, yang terjadi adalah adu mulut bahkan adu fisik alias bentrok yang diyakini sebagai ajang jihad-jihadan yang pada akhirnya jatuh korban di kedua belah pihak. Solusi terbaik untuk Ahmadiyah di Indonesia adalah meniru apa yang sudah dilakukan oleh Negara Pakistan yang banyak penganut ajaran Ahmadiyah. Pada tahun 1970 di Pakistan, Ahmadiyah bisa tetap eksis secara damai setelah menjadi agama sendiri dengan nama Qadianisme. Para petinggi Ahmadiyah di Indonesia sendiri seharusnya menyadari akar masalah ini, bukan lebih mengedepankan ego daripada kerukunan antar warga. Sementara dari pihak Muslim pun harus juga harus bisa meredam emosi, harus bisa dimengerti bahwa kita hidup di wilayah negara hukum yang memiliki HAM dan Undang-undang.
Solusi terbaik adalah Ahmadiyah memisahkan diri dari Islam. Jika Ahmadiyah tetap bersikeras mengklaim diri mereka sebagai Islam tetapi tetap berkiblat pada keyakinan mereka tentang Mirza Ghulan Ahmad dan tadzkiroh, maka pemerintah harus tegas membubarkannya. Pemerintah bisa mewakili itu dengan fatwa MUI, Muhammadiyah, NU, dan kelompok Islam besar lainnya serta ketentuan tentang larangan penistaan agama dalam KUHP.
Dan untuk pihak-pihak di luar Islam (Non-Muslim) khususnya yang mempunyai jabatan-jabatan penting entah itu dalam pemerintahan atau Organisasi Sosial, mohon untuk bisa lebih dewasa terhadap masalah masalah Ahmadiyah ini. Jangan memberikan tanggapan-tanggapan yang hanya berisi penyudutan salah satu pihak dengan dalih HAM. Biarlah hukum dan kebijakan pemerintah yang menyelesaikan masalah ini.
Kepala Negara Berbicara Masalah Ini :
SBY suggests dialogue for Ahmadiyah solution
sumber ; Ina Parlina, The Jakarta Post, Jakarta | Fri, 02/18/2011 11:10 AM | Headlines
The country is deeply divided over the issue of the Ahmadiyah, with one side insisting that it be declared a religion separate from Islam and the other saying that the Constitution stipulates that its followers have the right to call themselves Muslims.
During a Cabinet meeting Thursday, President Susilo Bambang Yudhoyono instructed his ministers to hold talks with religious leaders, human rights activists and the Ahmadis to find the best solution to end the recurring persecution of the minority group.
The Ahmadiyah, whose teachings are considered heretical and blasphemous against Islam by the Indonesian Ulema Council (MUI), has been a target of mob attacks in recent years. The latest incident in Banten left three Ahmadis dead.
The government has yet to find a solution beyond reviewing the 2008 joint ministerial decree on the Ahmadiyah, which critics say is often used to justify violence against the religious sect.
The nation remains deeply divided over the sensitive issue.
MUI deputy chairman Amidhan said his office agreed to exclude Ahmadiyah from Islam and allow them to exist as a new religion. “This is actually an internal problem of Muslims in Indonesia. This is not a matter of religious tolerance,” Amidhan said.
“The Ahmadis claim to believe in Islam but they do not follow its teaching,” he said, adding that for that reason it must abandon Islam and form a new religion.
“They are like a thorn in the flesh. If they do not do it, I’d say conflict will break out,” he said.
In Pakistan, the government officially declared the Ahmadiyah to be non-Muslims, but rights activists have denounced such a move.
Setara Institute human rights watch director Hendardi said that asking the Ahmadis to form a new religion was against their rights and no guarantee that they would be free from persecution.
“The policy of the Pakistani government is definitely not a good example as it does not deter violence against the group,” he said, recalling that the 2010 extremist attack against two Ahmadi mosques in Lahore took the lives of 93 congregation members.
The best solution, he said, was for the government to pass a law upholding religious freedom. “If any members of different faiths were involved in a conflict, they would be subject to criminal penalties.”
Law and Human Rights Minister Patrialis Akbar said the government would discuss the possibility of requiring the Ahmadis to declare themselves to be non-Muslims.
The chairman of Yudhoyono’s Democratic Party, Anas Urbaningrum, said that if the government could clarify the status of the Ahmadiyah by declaring it a new religion, it would create a more positive perspective toward the sect.
“If we declare Ahmadiyah a ‘religion of Ahmadiyah’ and not Islam, then people would apply the principle of ‘lakum dinukum waliyadin’ [to you your religion and to me mine]. It would create mutual respect.”
University of Indonesia sociology professor Imam Prasodjo said it was too soon to make a decision on whether to disband or to declare Ahmadiyah a new religion. “It would be unwise to decide now,” Imam said.
yang intinya adalah president mengucapkan : “I’d say the best strategy is to facilitate dialogue between Ahmadiyah and Muslims.”
Sampai ada SK Gubernur :
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menilai Surat Keputusan (SK) Gubernur Jawa Timur mengenai larangan beraktifitas bagi Ahmadiyah Jatim bukan lah solusi dari masalah dan bahkan akan menimbulkan masalah baru. Kendati demikian Wakil Ketua Komnas HAM, Nur Kholis memaklumi surat keputusan tersebut merupakan respons dari seorang kepala daerah terhadap sebuah persoalan yang ada di masyarakat. “Namun, bukan respons seperti ini yang kami harapkan,” Ujar Nur Kholis ketika dihubungi wartawan, selasa (1/3).
Keberadaan SK Gubernur tersebut akan membuat Ahmadiyah sebagai kelompok minoritas akan kian tertekan dan terjepit. Kondisi itu berpotensi membuat pihak yang berseberangan semakin berkeinginan untuk bertindak lebih represif. “Sehingga, surat keputusan tersebut tidak memberi solusi,”.
Dikarenakan belum menemukan salinan SK tersebut, Komnas HAM akan mempelajari pertimbangan apa yang digunakan oleh Gubernur dalam mengambil keputusan tersebut. Larangan Ahmadiyah untuk beraktivitas di Jawa Timur tertuang dalam SK Gubernur Nomor 188/94/KPTS/013/2011 berisi tentang larangan aktivitas jemaat Ahmadiyah Indonesia di Jawa Timur, ditandatangani Gubernur Jatim Soekarwo.[kom/fay].
Untuk kesekian kali sejak 2003 terjadi kerusuhan dan tindak kekerasan terhadap warga Jamaah Ahmadiyah Indonesia. Bahkan, kali ini memakan korban tiga anggota jemaah itu meninggal dunia. Di layar TV kita bisa melihat bagaimana sejumlah besar warga menyerang sejumlah kecil anggota Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI). Sungguh memilukan. Tampak anggota Polri tak berdaya menghadapi serbuan massa karena jumlah mereka tak seimbang dengan jumlah massa. Kepolisian Pandeglang tak mau dianggap telah melakukan pembiaran. Mereka telah mengamankan beberapa tokoh JAI setempat sebagai tindakan antisipasi. Karena jumlah anggota Polri terbatas, tidak bisa mengatasi keadaan. Menurut mereka, menambah tenaga dengan mendatangkan bantuan dari tempat lain membutuhkan waktu lama. Banyak yang risau terhadap masa depan Indonesia, tak hanya dalam kehidupan beragama, tetapi juga masa depan kehidupan berbangsa dan bernegara secara keseluruhan, yang hanya bisa berjalan baik jika hukum dapat hadir secara nyata dalam kehidupan. Apa pun bentuk suatu negara, ideologi apa pun yang dianut, apa pun sistem ekonominya, negara hukum adalah prasyarat mutlak yang harus dipenuhi. Kalau dalam kasus Gayus dan lain-lain, hukum tunduk pada uang, kini mungkin hukum tunduk pada tekanan massa.
Tiga masalah utama
Ahmadiyah berada di Indonesia sejak sebelum kemerdekaan dan JAI diakui secara hukum sejak 1953. Pada era Orde Lama dan Orde Baru tak pernah terjadi konflik fisik antara JAI dan pihak lain. Sering terjadi perdebatan JAI dengan Muslimin, tetapi berjalan dengan tertib. Baru di era Reformasi terjadi begitu banyak tindak kekerasan terhadap mereka. Melihat fakta itu, tentu kita sadar, amat sulit mencari pemecahan masalah keberadaan jemaah Ahmadiyah di sini. Secara garis besar, ada 3 masalah utama yang kita hadapi:
1. Ahmadiyah dalam pandangan umat Islam di Indonesia.
2. hak hidup JAI di Indonesia.
3. perlindungan terhadap keamanan warga JAI dan harta mereka. Ketiganya saling berkaitan, terutama butir 2 dan 3. Melihat sudah sekian lama belum ada pemecahan yang bisa menghentikan tindak kekerasan, kita sadar masalahnya memang sungguh amat berat dan rumit.
MUI, Muhammadiyah, NU, dan ormas Islam lain sepakat ajaran Ahmadiyah Qadiyan yang menganggap Ghulam Ahmad adalah nabi tidak dibenarkan oleh ajaran Islam. Kebanyakan menggunakan istilah sesat dan menyesatkan. Di kalangan NU ada yang setuju istilah ini, tetapi ada yang tidak. Kelompok yang tak setuju mengusulkan istilah menyimpang. Selain itu, ada tuduhan Ahmadiyah punya kitab suci sendiri, yaitu Al Quran yang telah ditambah penafsiran Ghulam. JAI punya masjid sendiri untuk shalat Jumat dan tak mau shalat diimami Muslim kelompok lain tidak berbaur dengan umat Islam lain.
Bagi mayoritas umat dan tokoh Islam, Ahmadiyah sudah dianggap bukan Islam lagi. Mereka menganggap Ahmadiyah menodai agama Islam dan menginginkan Ahmadiyah menyatakan diri bukan Islam. Perlu dikemukakan, ada sedikit tokoh Islam yang toleran serta tak punya pendapat dan sikap seperti kelompok mayoritas.
Hak hidup JAI di Indonesia
Banyak tokoh dan organisasi Islam di Indonesia menganggap Ahmadiyah telah menodai agama Islam dan meminta pemerintah membubarkan JAI berdasar UU No 1/PNPS Tahun 1965. Banyak aktivis HAM menganggap UU itu tak sesuai dan bertentangan dengan UUD yang telah mengandung substansi HAM. Sejumlah tokoh Islam (antara lain Gus Dur dan Dawam Rahardjo) dan beberapa LSM pegiat HAM mengajukan peninjauan UU itu ke Mahkamah Konstitusi, tetapi ditolak. Secara hukum dan politis, keberadaan UU ini jadi makin kuat. Namun, tampaknya pemerintah cenderung tak mau membubarkan JAI.
Ada yang mengusulkan agar Ahmadiyah menyatakan diri bukan Islam. Tentu mereka menolak. Ada yang mengusulkan kita meniru Pakistan sehingga pemerintah yang menyatakan Ahmadiyah bukan bagian dari Islam. Rupanya yang mengusulkan ini lupa, Pakistan adalah negara Islam dan kita negara berdasar Pancasila.
Para aktivis dan organisasi pegiat HAM tentu membela hak hidup Ahmadiyah. Menurut mereka, sesuai UUD, warga dan organisasi Ahmadiyah punya hak hidup di Indonesia dan tak boleh dibubarkan atau dibatasi kegiatannya. Mereka menyesalkan pernyataan Menteri Agama Suryadharma Ali yang usul JAI dibubarkan.
Menghadapi banyaknya faktor yang saling bertentangan dan telah timbul konflik fisik antara JAI dan umat Islam, pemerintah mengeluarkan SKB (Surat Keputusan Bersama) Menteri Agama, Mendagri, dan Jaksa Agung pada 9 Juni 2008, yang terdiri atas enam butir. Bagi pemerintah, SKB itu jalan tengah yang bisa ditempuh untuk menyelesaikan masalah Ahmadiyah. Bagi pegiat HAM, tentu SKB itu tidak ideal.
Inti SKB ada pada butir kedua. Isinya: ”Memberi peringatan dan memerintahkan kepada penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus JAI sepanjang mengaku beragama Islam untuk menghentikan penyebaran penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran Islam, yaitu penyebaran paham yang mengakui adanya nabi dengan segala ajarannya setelah Nabi Muhammad SAW”.
Butir ketiga SKB berbunyi: ”Penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus JAI yang tidak mengindahkan peringatan dan perintah sebagaimana dimaksud pada diktum kesatu dan diktum kedua dapat dikenai sanksi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, termasuk organisasi dan badan hukumnya”. Sanksi sesuai SKB bisa dilakukan sesuai UU No 1 PNPS yang hukuman maksimal bisa berupa pembubaran JAI, yang tampaknya tidak akan tidak dijatuhkan. Tampaknya sosialisasi SKB itu belum dilakukan secara serius. Mungkin tak banyak camat atau kepala desa yang menguasai SKB dengan baik, termasuk mereka yang daerahnya banyak warga JAI. Bisa jadi banyak juga kapolsek dan kapolres yang tak menguasai. Selain itu, tampaknya ada perbedaan penafsiran terhadap butir-butir SKB, yang bisa berdampak serius. Perlu dilakukan pertemuan untuk membuat penafsiran bersama. Penafsiran bersama itu perlu disebarkan seluas-luasnya supaya tak timbul ketidaksabaran umat Islam di lapisan akar rumput yang menuntut segera dilakukan pembubaran JAI. Ketidaksabaran itu amat berpotensi dihasut siapa pun juga.
Perlindungan warga JAI
Masalah paling mendesak adalah bagaimana memberikan perlindungan kepada warga JAI dan hak milik mereka. Dahsyatnya serangan 6 Februari 2011 yang bisa dilihat dalam tayangan TV memang menyentuh nurani kebanyakan dari kita, tetapi bukan tak mungkin akan memicu kelompok yang tak mau kompromi dan merasa JAI sudah menodai Islam dan harus dibubarkan. Saya yakin, hampir semua umat Islam tak ada keinginan melakukan tindak kekerasan. Ada pihak yang memengaruhi mereka sehingga mereka terbawa keinginan tak positif itu. Mungkin mereka merasa sedang berjuang membela Islam yang sedang dirusak JAI. Warga di lapisan akar rumput harus dibina supaya tidak mudah terpengaruh aksi negatif itu. Tentu ada data tentang konsentrasi warga JAI di berbagai tempat. Di daerah tersebut, kejaksaan, kepolisian, pemda, ulama, dan tokoh masyarakat setempat perlu mengadakan pertemuan untuk membahas potensi kekerasan terhadap warga JAI dan upaya mengantisipasi. Perlu dijelaskan isi dan tafsir yang benar terhadap SKB Ahmadiyah itu. Juga perlu dijelaskan, tindak kekerasan terhadap warga JAI tak sesuai ajaran Islam. Kepolisian di daerah yang banyak dihuni warga JAI juga harus dilatih khusus untuk menghadapi kejadian seperti di Cikeusik, termasuk dalam mekanisme mendatangkan bala bantuan dalam waktu cepat. Proses hukum harus dilakukan terhadap mereka yang terlibat, khususnya pihak yang menggerakkan massa dan yang terlibat langsung dalam tindak kekerasan yang berakibat meninggalnya tiga korban itu. Harus juga diantisipasi potensi tekanan massa saat persidangan seperti yang terlihat pada persidangan di PN Cibinong terhadap terdakwa yang melakukan kekerasan terhadap hak milik JAI.
• Kalau boleh mengkopi bahasa dari Bapak President “I’d say the best strategy. The government to pass a law upholding religious freedom. “If any members of different faiths were involved in a conflict, they would be subject to criminal penalties.”
• Jika di kaji lagi karena kita hidup di wilayah negara hukum yang memiliki HAM dan Undang-undang. Solusi terbaik adalah Ahmadiyah memisahkan diri dari Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar